Stuckie, Anjing Mumi Dalam Pohon

Mumifikasi umumnya dilakukan dengan cara melapisi tubuh mayat dengan balsem atau dengan bahan tertentu. Tujuannya adalah tidak lain agar mayat tersebut dapat terawetkan, tidak hancur sehingga hanya menyisakan tengkorak saja.

Pengawetan mayat tersebut biasanya dilakukan oleh bangsa Mesir kuno. Menurut mereka, akhirat adalah kehidupan badaniah bukan penggantian berbentuk rohaniah.

Walau demikian, dalam beberapa kasus mumifikasi bisa terjadi secara alami, tanpa perlu balsem atau obat-obatan pengawet lainnya. Seperti mumi seekor anjing yang dipamerkan di Museum Southern Forest World di Waycross, Georgia, Amerika Serikat.

Para pengunjung museum tersebut bisa melihat sebuah tunggul pohon yang di dalamnya terdapat mayat anjing pemburu.

Tubuh anjing yang mati dalam usia empat tahun itu tampak terawetkan dengan baik selama hampir 60 tahun, meski tak ada teknik mumifikasi yang digunakan.

Batang pohon berisi mumi anjing itu ditemukan pada tahun 1980-an, oleh para penebang kayu dari perusahaan The Georgia Kraft Corp. usai memotong puncak pohon ek untuk dimasukkan ke truk pengangkut. Mereka tiba-tiba melihat seekor anjing pemburu menonjolkan kepalanya seperti melihat para pekerja dari lubang tepat di tengah pohon.

Para ahli mengatakan anjing tersebut terjebak saat melompat masuk melalui lubang di bawah pohon ketika mengejar beberapa binatang pada tahun 1960-an. Asumsi tersebut diperkuat oleh kenyataan bahwa anjing yang terjebak itu merupakan jenis pemburu.

Karena ruangnya dalam lubang cukup sempit, serta posisinya tinggi dari tanah, maka anjing itu tidak bisa lepas. Anjing malang itu telah menjadi “mumi yang ketakutan” setelah gagal dalam usaha mencari jalan keluar dari dalam batang pohon setinggi 8 meter ini.

Apa yang membuat tubuh anjing tidak membusuk?

Menurut seorang antropolog di West Florida University, Kristina Killgrove, biasanya ketika seseorang meninggal dunia, organisme di dalam usus tumbuh, berkembang biak dan menyebabkan proses pembusukan. Mayat tersebut lalu akan secara otomatis menghancurkan dirinya sendiri, melalui peran makhluk lain dari dalam maupun luar tubuh.

“Mereka tumbuh, mereka bereproduksi, dan mereka mulai mengambil alih tubuh,” kata Killgrove kepada Newsweek (19/1). “Itu bagian yang menjijikkan.”

Mayat lalu membusuk. Lalu bakteri, jamur, serangga dan hewan lainnya datang untuk memakan sisa-sisanya.

Tapi bukan ini yang terjadi pada anjing di dalam batang pohon ek itu. Faktor utamanya terletak pada “peti mati” itu sendiri.

Alasan untuk misteri ini adalah bahwa pohon ek mengandung zat keras, yang ternyata berguna untuk mengawetkan kulit hewani dan mencegah pembusukan.

Menurut peneliti ilmiah, zat tersebut adalah dehidrator alami, yang berfungsi menyerap kelembaban dan mengeringkan lingkungan sekitar. Ditambah lingkungan dengan kelembaban rendah akan menghambat aktivitas mikroba, sehingga proses dekomposisi pun tercegah. Proses ini membantu tubuh anjing tidak diserang oleh mikroba.

“Dia anjing pemburu, jadi kami berasumsi bahwa dia sedang mengejar sesuatu di pohon,” kata Bertha Sue Dixon, yang mengelola Museum Southern Forest World.

Dixon percaya bahwa posisi dan bentuk pohon, dengan udara yang meniup ke atas, juga membantu tubuh anjing itu tetap seperti semula.

“Itu seperti efek cerobong asap,” Dixon menjelaskan. “Jadi apapun yang bisa memakan daging mayat tidak akan pernah tahu dia ada di pohon itu.”

Mengutip RoadsideAmerica.com, efek cerobong asap sering terjadi pada batang pohon yang berongga. Angin yang bertiup ke atas membuat bau mayat binatang tersebut tak terdeteksi oleh serangga atau organisme lain yang kerap menjadikan mayat sebagai makanan mereka.

Pohon yang berongga juga membuat kondisi menjadi relatif kering dan asam tanat yang dikandung pohon ek membantu kulit hewan itu mengeras.

Alih-alih melanjutkan memotong kayu bulat yang terdapat “harta karun” di dalamnya ini, para pekerja The Georgia Kraft Corp. memutuskan untuk menyumbangkannya ke Museum Southern Forest World.

Hingga tahun 2002, anjing tersebut tak memiliki nama. Ia hanya disebut “mumi anjing”. Pihak museum kemudian mengadakan kontes pemberian nama dan pemenangnya adalah “Stuckey”.

Akan tetapi, karena ada jaringan toko kelontong bernama Stuckey’s, pengurus museum memutuskan mengubah ejaan nama mumi anjing itu menjadi Stuckie guna menghindari konflik hak cipta.

Kini, di museum yang didedikasikan untuk sejarah kehutanan di AS itu, para pengunjung bisa melihat pose terakhir Stuckie ketika ia berusaha keluar dari rongga batang pohon itu untuk kembali kebebasan.

sumber

Loading